ANALISIS
KRITIS TERHADAP
AMANDEMEN
UNDANG-UNDANG TENTANG DESA
Tugas
Mata Kuliah : Hukum Pemerintah Daerah
Dosen
: Dora Kusumastuti, SH, MH
Disusun Oleh:
1.
JERBEAM AMOK WAME NIM
: 10511028
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA
2013
ANALISIS
KRITIS TERHADAP
AMANDEMEN
UNDANG-UNDANG TENTANG KABUPATEN
A. Pemahaman atas Hakekat Kabupaten
Visi reformasi Kabupaten adalah menuju Kabupaten yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Karena
berbasis visi itu, maka Kabupaten tidak
bisa dipahami hanya sebagai wilayah administratif atau tempat kediaman penduduk
semata, melainkan sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
Paralel dengan visi tersebut, sebaiknya Kabupaten ditransformasikan menjadi
sebuah entitas yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya
secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Otonomi Kabupaten mengandung tiga
makna: (a) Hak Kabupaten untuk mempunyai, mengelola atau memperoleh sumberdaya
ekonomi-politik; (b) Kewenangan untuk mengatur atau mengambil keputusan atas
pengelolaan barang-barang publik dan kepentingan masyarakat setempat; dan (c)
Tanggungjawab Kabupaten untuk mengurus kepentingan publik (rakyat) Kabupaten
melalui pelayanan publik.
Dengan demikian Kabupaten mempunyai
hak dan kewenangan jika berhadapan dengan pemerintah, sekaligus mempunyai
tanggungjawab jika berhadapan dengan rakyat. Agar ketiganya berjalan, Kabupaten
membutuhkan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki, serta kapasitas (kemampuan) untuk menopang tanggungjawab
mengurus masyarakat.
B. Azas dan Perspektif Pengaturan Kabupaten
Ketika berbicara tentang otonomi
daerah dan Kabupaten , maka kita langsung melihat desentralisasi sebagai azas
utama. Azas untuk menopang otonomi daerah tentu sudah final, yakni menggunakan
azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (delegasi). Azas
desentralisasi terutama diberikan kepada kabupaten/kota mengingat daerah ini
menjadi titik berat otonomi, sedangkan azas dekosentrasi terutama diberikan
kepada provinsi mengingat gubernur adalah wakil pemerintah pusat yang berada di
daerah. Azas tugas pembantuan (delegasi) diberikan oleh pemerintah pusat kepada
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan bahkan kepada Kabupaten. Tetapi perspektif
dan azas-azas itu tidak bisa cukup dan sempurna untuk menempatkan posisi dan
peran Kabupaten, karena Kabupaten mempunyai otonomi asli dengan basis hak-hak bawaan
(asal-usul).
Karena itu naskah akademik ini
mengusulkan dua azas utama yang digunakan untuk mendasari otonomi pemerintahan Kabupaten.
Pertama, rekognisi atau pengakuan
terhadap hak asal-usul Kabupaten. Pasal 18 UUD 1945, misalnya, menekankan
perspektif rekognisi ini, yakni mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa dan
sejumlah 250 kesatuan masyarakat hukum yang memiliki beragam nama dan susunan
aslinya. UU No. 32/2004 juga memberi pengakuan terhadap kewenangan/hak
asal-usul Desa, meski jabarannya tidak terlalu jelas. UU No. 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh juga mengakui dan bahkan memulihkan posisi mukim yang semula
hanya menjadi lembaga adat menjadi unit pemerintahan yang berada di
tengah-tengah kecamatan dan Desa (gampong).
Kedua, azas subsidiaritas, yakni lokalisasi kewenangan di aras Desa dan
pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat. Dengan
subsidiaritas urusan-urusan yang berskala lokal diputuskan secara lokal dengan kewenangan
Desa, dan masalah-masalah lokal juga diselesaikan secara lokal.
Subsidiaritas mengandung spirit
menghargai, mempercayai dan menantang Desa untuk bergerak. Tanpa subsidiaritas
itu inisiatif lokal Desa akan sulit tumbuh, dan Desa kian menjadi beban berat
bagi pemerintah. Masyarakat adat di Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman
panjang dalam praktik subsidiaritas itu. Contoh yang utama adalah peradilan
adat atau penyelesaian sengketa lokal di Aceh. Peradilan adat pertama dilakukan
di tingkat gampong dan jika tidak selesai baru dibawa naik ke tingkat mukim.
Mekanisme subsidiaritas ini hampir sama dengan mekanisme peradilan modern di
Indonesia, yakni dimulai dari pengadilan negeri (di level kabupaten/kota), jika
tidak selesai baru dibawa naik ke level pengadilan tinggi (provinsi) dan
terakhir berada di level kasasi Mahkamah Agung.
Berdasarkan pemahaman pada
gambaran umum di atas, maka prespektif pengaturan Desa ke depan paling tidak
harus dapat menjawab pertanyaan mengapa paradigma yang menjadi dasar pengaturan
mengenai Desa yaitu memberikan dasar menuju kemandirian, artinya memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas
yang mengatur dirinya sendiri kurang dapat berjalan? Menurut Kuntowijoyo (dalam
Suhartono, 2001: 30), ada tiga paradigma yang berkembang dalam melihat Desa. Pertama, paradigma yang melihat masalah pada rakyat itu sendiri. Kedua, paradigma yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak
adanya kesempatan bagi rakyat. Ketiga, paradigma yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil.
Berdasarkan paradigma yang
pertama, yaitu melihat permasalahan Desa berdasarkan pada masalah rakyat itu
sendiri, maka dalam Undang-Undang Desa yang ditekankan adalah bagaimana
menjadikan pembangunan perdesaaan itu dari masyarakat, oleh masyarakat dan
untuk masyarakat (DOUM). Masyarakat Perdesaan adalah pelaku utama pembangunan
di Desa, sedangkan Pemerintah Desa mempunyai tugas utama untuk membimbing,
mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif. Berdasarkan paradigma di
atas, maka dalam Rencana Undang-Undang tentang Desa, peran masyarakat akan
ditingkatkan dalam:
1) Mekanisme pembentukan,
penghapusan dan penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi
kelurahan;
2) Penyelenggaraan pemerintahan Desa
3) Mengidentifikasi dan melaksanakan
kewenangan Desa;
4) Pembuatan Peraturan Desa
5) Perencanaan Pembangunan Desa
6) Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa
7) Kerjasama Desa
8) Meningkatkan peran Lembaga
Kemasyarakatan
9) Melestarikan Lembaga Adat
Berdasarkan ketentuan di atas,
maka sebenarnya peran masyarakat akan ditingkatkan dalam segenap aspek yang
berkembang di Desa, seperti penyelenggaraan pemerintahan Desa, demokrasi Desa,
ekonomi dan pembangunan Desa, kerjasama antar Desa dan hubungan Desa dengan
supra Desa.
Dari paradigma kedua, yang
melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat, maka
Rencana Undang-Undang tentang Desa ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat
untuk terlibat aktif dalam:
a. penyelenggaraan pemerintahan Desa
b. pengembangan ekonomi pedesaan
c. pengembangan demokrasi lokal
d. pengembangan kerjasama Desa
Selanjutnya dari paradigma ketiga, yang melihat pada
struktur dan sistem yang tidak adil, maka Rencana Undang-Undang Desa ini:
a. memungkinkan Desa menerima atau
menolak penyerahan urusan pemerintahan di atasnya
b. menegaskan akan arti pentingnya
hak asal-usul, adat istiadat Desa dan sosial budaya masyarakat Desa
c. menegaskan akan arti pentingnya
Kepala Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan ekonomi
Desa, mengembangkan pendapatan masyarakat dan Desa dan sebagainya.
C. Ruang Lingkup dan Isi Pengaturan
1. Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi Kelurahan
a. Pertama, dalam rangka penataan
Desa perlu juga diatur persyaratan-persyaratan dalam rangka pembentukan Desa
baru ahsil pemekaran seperti:
1) usia penyelenggaraan pemerintahan Desa paling
sedikit 5 (lima) tahun,
2) kondisi demografis dan geografis Desa,
3) kesiapan dan kapasitas pemerintahan Desa
4) jaringan perhubungan,
5) kondisi sosial budaya yang menjamin kerukunan
warga, potensi Desa yang memungkinkan Desa untuk berkembang,
6) batas Desa yang sudah diwujudkan dalam bentuk
Peta Desa
7) sarana dan prasarana pelayanan publik
8) infrastruktur
pemerintahan Desa.
Kedua, syarat ini memiliki tujuan
agar untuk menata tingkat perkembangan Desa dan Desa pemekaran, benar-benar
mampu mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Ketiga, Dalam pembentukan,
pengahapusan dan penggabungan serta perubahan status Desa menjadi kelurahan di
masa mendatang harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar pengaturan mengenai
Desa yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat. Artinya dalam pembentukan, penghapusan dan
penggabungan serta perubahan status Desa menjadi Kelurahan harus memperhatikan
inisiatif/prakarsa mayoritas masyarakat dengan memperhatikan kondisi sosial
budaya setempat.
Keempat, mekanisme pembentukan,
penghapusan dan penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi kelurahan
di dasarkan atas prakarsa masyarakat, pertimbangan Pemerintahan Desa dan supra
Desa, hingga sampai pada ditetapkannya Peraturan Daerah. Mekanisme ini sangat
penting agar proses pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa atau
perubahan status Desa menjadi kelurahan benar-benar sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Kelima, mekanisme, tata cara, pengalihan aset dan status perangkat
Desa dalam Pembentukan, penghapusan dan penggabungan serta perubahan status
Desa menjadi kelurahan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
2. Kedudukan dan Bentuk Desa
Daerah-daerah di Indonesia memang
mempunyai keragaman yang luar biasa baik dilihat dari sisi kultur maupun
kondisi geografis dan basis ekonominya. Akan tetapi keragaman itu tidak terlalu
mempersulit penentuan posisi dan bentuk daerah, sebab daerah secara keseluruhan
sudah ditetapkan sebagai daerah otonom (local
self government) secara baku. Perbedaan antardaerah cukup dijawab dengan
teori desentralisasi. Jika di masa Orde Baru pemerintah hanya mengenal
desentralisasi yang simetris (seragam), maka di masa reformasi pemerintah
menerapkan kebijakan desentralisasi asimetris untuk menjawab keragaman.
Sementara Desa-desa di Indonesia
sangat beragam antara lain karena pengaruh sejarah pemerintahan adat dan
pengaruh modernisasi birokrasi. Namun teori desentralisasi tidak mencukupi
untuk menjawab bentuk-bentuk Desa dalam konteks Indonesia. Sesuai dengan
pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, setidaknya ada tiga
tipe bentuk Desa:
a) Tipe ”Desa adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk Desa asli dan
tertua di Indonesia. Konsep ”otonomi asli” sebenarnya diilhami dari pengertian
Desa adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan
yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan
tugas-tugas administratif yang diberikan oleh negara. Saat ini Desa pakraman di
Bali yang masih tersisa sebagai bentuk Desa adat yang jelas.
b) Tipe ”Desa administratif” (local state government) adalah Desa sebagai satuan wilayah
administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan
tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Desa administratif secara
substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di
perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari tipe Desa administratif.
c) Tipe ”Desa otonom” atau dulu disebut
sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai local
self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia.
Secara konseptual, Desa otonom adalah Desa yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi sehingga mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Desa otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri,
mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan Desa dan juga
memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.
Dalam konteks perjalanan Indonesia
mencari posisi dan bentuk Desa, ketiga tipe Desa yang telah diraikan dalam Bab
3, dijadikan rujukan. Pertama, pemikiran para founding fathers yang termuat dalam konstitusi secara jelas mengikuti
model Desa adat, yakni mengakui (rekognisi) keberadaan kesatuan masyarakat
hukum adat yang jumlahnya sangat banyak dan beragam di Indonesia. Kedua, pemikiran tentang Desa otonom atau Desapraja atau
daerah otonom tingkat III, yang sering dikemukakan oleh mendiang Prof. Selo
Soemardjan, Ibnu Tricahyo (UNBRAW) maupun Khasan Effendy (IPDN). Ibnu Tricahyo,
seorang pakar hukum tatanegara dari PP Otoda Universitas Brawijaya Malang.
Mereka selalu menyoroti kekeliruan besar UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 yang
menempatkan posisi Desa sebagai subsistem pemerintahan kabupaten, sekaligus
menerima limpahan kewenangan dan alokasi dana dari kabupaten. Menurut dia, yang
melakukan desentralisasi kepada Desa bukanlah pemerintah kabupaten melainkan
negara melalui pemerintah pusat. Karena itu, dia selalu menegaskan bahwa kedudukan
Desa harus dipertegas lebih dulu dalam struktur ketatanegaraan melalui
konstitusi, kemudian diikuti dengan penyerahan kewenangan kepada Desa beserta
alokasi dana secara langsung dari APBN.
Ketiga, ide dan pengaturan Desa administratif (kelurahan) yang diterapkan pada
masa Orde Baru. Di masa rezim ini, bentuk Desa adat dihilangkan dan ide Desa
sebagai daerah otonom tingkat III (Desapraja) juga dihilangkan, meski UU No.
5/1974 mengenal provinsi daerah tingkat I dan kabupaten/kotamadya daerah
tingkat II. UU No. 5/1979 memberi kesempatan perubahan status dari Desa-desa
yang sudah urbanized di perkotaan menjadi kelurahan, yang membuat roh otonomi
dan demokrasi menjadi hilang. Perubahan menjadi kelurahan memang memungkinkan
perbaikan pelayanan administratif, tetapi di balik itu sangat memudahkan proses
kapitalisasi, sebab status tanah kelurahan tidak lagi menjadi milik rakyat
melainkan menjadi milik negara. Ketika investasi akan masuk ke ranah kelurahan,
maka negara dan investor tidak lagi bernegosiasi dengan Desa dan rakyat Desa.
3. Kewenangan Desa
Kewenangan (authority) adalah suatu
kekuasaan yang sah atau “the power or right delegated or given; the power to
judge, act or command” (Ndraha, 2003: 85). Namun dalam perkembangannya, Chester
I. Barnard menyarankan bahwa dalam membahas kewenangan harus memperhatikan
apakah kewenangan itu diterima oleh yang menjalankan (“whether orders are
accepted by those who receive them”). Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam
membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang
dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan yang menjalankan dan atau
menerima kekuasaan itu. Di dalam kewenangan tentu mengandung keputusan politik
(alokasi) dan keputusan administratif (pelaksanaan) yang mencakup mengatur,
mengurus dan tanggungjawab.
Meski Desa tetap menjadi bagian dari
subsistem pemerintahan kabupaten/kota, tetapi tidak ada teori dan azas yang
membenarkan penyerahan kewenangan/urusan dari pemerintah kabupaten/kota kepada
Desa. Di sisi lain, konstitusi juga tidak
menetapkan desentralisasi kewenangan Desa. Karena itu, kewenangan Desa
didasarkan pada azas rekognisi dan subsidiaritas, bukan pada azas
desentralisasi.
Kewenangan Desa tidak
lagi mengikuti skema penyerahan atau pelimpahan sebagian kewenangan dari
kabupaten/kota, melainkan dengan skema pengakuan (rekognisi) dan subsidiaritas
atas kepentingan masyarakat setempat, secara langsung dari Undang-undang Desa.
Berdasarkan skema ini ada dua jenis kewenangan Desa yang utama:
(a) Kewenangan
asal-usul yang diakui oleh negara: mengelola aset (sumberdaya alam, tanah
ulayat, tanah kas Desa) dalam wilayah yurisdiksi Desa, membentuk struktur pemerintahan
Desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan
melestarikan adat dan budaya setempat.
(b) Kewenangan
melekat (atributif) mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang
berskala lokal (Desa): perencanaan pembangunan dan tata ruang Desa, membentuk
struktur dan organisasi pemerintahan Desa, menyelenggarakan pemilihan kepala
Desa, membentuk Badan Perwakilan Desa, mengelola APBDes, membentuk lembaga
kemasyarakatan, mengembangkan BUMDes, dan lain-lain. Selain itu, ada satu jenis
kewenangan (urusan) yang bersifat tambahan, yakni kewenangan dalam bidang tugas
pembantuan (delegasi) yang diberikan oleh pemerintah. Prinsip dasarnya, dalam
tugas pembantuan ini Desa hanya menjalankan tugas-tugas administratif
(mengurus) di bidang pemerintahan dan pembangunan yang diberikan pemerintah. Tugas
pembantuan disertai dengan dana, personil dan fasilitas. Desa berhak menolak
tugas pembantuan jika tidak disertai dengan dana, personil dan fasilitas.
4. Penyelenggara Pemerintahan Desa
Sebagai kosekuensi pilihan Desa yang
beragam maka pengaturan tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintahan
Desa dibuat beragam juga pilihannya. Namun demikian UU ini perlu merumuskan
standar- norma yang bisa dipakai sebagai acuan dlalam penyelenggaraan
pemerintahan Desa. Standar dan norma yang harus diikuti adalah sebagai berikut:
Pertama, Agar penyelenggaraan pemerintahan
Desa dapat lebih peka dalam memahami aspirasi dan permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Sehubungan dengan hal ini ada 7 asas penyelenggaraan Pemerintahan
Desa yang ditekankan, yaitu:
a) Asas Kepastian Hukum
b) Asas Tertib Kepentingan
Umum
c) Asas Keterbukaan
d) Asas Profesionalitas
e) Asas Akuntabilitas
f) Asas Efisiensi
g) Asas Efektivitas
Kedua,
Penyelenggaraan pemerintahan Desa dilakukan oleh Badan
perwakilan/permusyawaratan Desa, pemerintah Desa dan musyawarah Desa.
Ketiga, Badan
perwakilan Desa atau disebut dengan nama lain adalah lembaga perwakilan rakyat
Desa yang menjalankan fungsi artikulasi & agregasi kepentingan warga Desa;
fungsi legislasi (pengaturan); fungsi budgeting dan fungsi pengawasan. Keanggaotaan
Badan Perwakilan Desa dapat dipilih atau berdasarkan musyawarah secara
berjenjangecara berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat. BPD
mencerminkan perwakilan unsur-unsur atau kelompok-kelompok dalam masyarakat
Desa, termasuk kuota 30% untuk kaum perempuan. Kedudukan, mekanisme pemilihan,
persyaratan, jumlah, fungsi kontrol wewenang, kewajiban, hak, larangan,
mekanisme rapat, penghasilan tetap dan atau tunjangan dari BPD selanjutnya
diatur dalam Peraturan Daerah. Agar BPD representatif dan bekerja secara
efektif, maka ia diDesain sebagai “pekerjaan” yang full time (bukan sambilan).
Jika BPD hanya sebagai “pekerjaan” sambilan, maka ia hanya didominasi oleh
kelompok tokoh masyarakat dan PNS, yang berarti tidak mencerminkan keterwakilan
banyak kelompok dalam Desa. Disain yang full time itu juga sebagai respons dan
persiapan untuk menghadapi banyaknya kewenangan dan perencanaan yang
didesentralisasikan ke Desa. Konsekuensinya, BPD juga memperoleh gaji seperti
halnya perangkat Desa.
BPD menjalankan fungsi
legislatif (penyusunan peraturan Desa), konsultatif (perencanaan pembangunan
Desa), menyerap aspirasi masyarakat, dan kontrol terhadap pemerintah Desa. BPD
menjadi institusi untuk menjaga akuntabilitas horizontal. Dalam konteks
akuntabilitas horizontal itu, pemerintah Desa atau kepala Desa,
bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD, dan menyampaikan keterangan pertanggungjawaban
kepada Bupati sebagai bahan untuk evaluasi, supervisi dan pembinaan. Di samping
itu, penting juga diatur apakah anggota parlemen Desa ini bersifat sukarela (volunteer) atau digaji dengan
imbalan layaknya perangkat Desa.
Keempat, Pemerintah
Desa dipimpin oleh Kepala Desa atau disebut dengan nama lain. Proses pengisian
kepala Desa dapat dilakukan secara pemilihan langsung atau musyawarah warga
secara berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat. Kepala Desa
yang dipilih secara langsung memiliki masa jabatan selama 6 tahun dan dapat
dipilih kembali. Kepala Desa hanya bisa menjabat 2 kali masa jabatan. UU ini
mengatur secara jelas hak dan kewajiban kepala Desa; Adanya kejelasan
pengaturan mengenai mekanisme Pemilihan kepala Desa; tugas, wewenang, dan
kewajiban Kepala Desa; persyaratan menjadi Kepala Desa; larangan bagi Kepala Desa;
pemberhentian Kepala Desa; masa jabatan Kepala Desa 6 tahun
Kelima, Hubungan
kepala Desa dengan BPD didasarkan prinsip check balances. Kepala Desa atau disebut dengan nama lain
menyampaikan akuntabilitasnya dalam bentuk laporan penyelenggaraan pemerintahan
pada Bupati; laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan pada BPD dan warga
dalam forum musyawarah Desa, serta menginformasikan secara terbuka pada
masyarakat.
Keenam Musyawarah
Desa merupakan perwujudan demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), yakni model
pengambilan keputusan dengan menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat
secara kolektif, seperti halnya bentuk rembug Desa atau musyawarah
adat;Musyawarah Desa merupakan forum tertinggi dalam mengambil keputusan atas
masalah-masalah strategis di Desa. Masalah-masalah strategis antara lain:
Penetapan rencana strategis Desa, Musyawarah perencanaan pembangunan dan
masalah yang berkaitan dengan kerjasama dengan pihak ketiga. Musyawarah Desa
diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Keputusan Musyawarah Desa
bersifat mengikat untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan perwakilan
Desa. Musyawarah Desa dapat diikuti secara langsung oleh seluruh warga atau
dilakukan dengan model delegasi yang dipilih secara berjenjang.
Ketujuh, Kepala Desa
dibantu oleh unsur pemerintah Desa yang meliputi sekretaris Desa dan perangkat
Desa. Struktur organisasi pemerintah Desa ditetapkan melalui Peraturan Desa
dengan memperhatikan model dan kewenangan Desa. UU ini mengatur mengenai
perangkat Desa (Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya), baik dalam sistem
rekrutmen, pemberian tunjangan, penghargaan. Rekruitmen Sekretaris Desa dan
perangkat Desa didasarkan prinsip-prinsip profesionalitas, transparan dan
akuntabel. ika demokrasi dibutuhkan sebagai kerangka politik penyelenggaraan pemerintahan
Desa, teknokrasi dibutuhkan sebagai kerangka administratif bagi Desa, terutama
berkaitan dengan keperangkatan Desa. Namun kerangka
teknokrasi itu juga memperhatikan konteks lokal seperti susunan asli. Ada beberapa
pokok pikiran penting dalam konteks ini.
i. Organisasi dan
struktur keperangkatan Desa didasarkan pada tiga fungsi utama Desa:
fungsi-fungsi Desa semestinya dijabarkan ke dalam: (a) Fungsi pemerintahan Desa
yang mencakup menjalankan kebijakan publik; menyelenggarakan pelayanan publik;
mengelola sumberdaya alam; dan mengelola keuangan Desa; (b) Fungsi pembangunan
adalah fungsi mobilisasi dan distribusi sumberdaya lokal guna mencapai
kesejahteraan rakyat: menyiapkan dan menjalankan perencanaan berbagai sektor;
mengembangkan ekonomi lokal; pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan
dasar; mengelola tata ruang dan kawasan; serta (c) Fungsi kemasyarakatan adalah
kegiatan sosial yang berbasis pada modal sosial untuk memperkuat ketahanan
sosial.
ii. Lebih spesifik
lagi, fungsi pemerintahan Desa tersebut mencakup: regulasi/kebijakan, pelayanan
dan pemberdayaan. Fungsi regulasi/kebijakan dijalankan oleh institusi kepala
Desa, BPD dan musyawarah Desa dengan pendekatan teknokratis. Fungsi pelayanan dijalankan oleh institusi perangkat Desa
dengan pendekatan teknokratis. Fungsi pemberdayaan dijalankan oleh lembaga-lembaga
atau organisasi masyarakat Desa dengan pendekatan partisipatif dan keswadayaan.
iii. Struktur
organisasi pemerintahan Desa mengutamakan efisiensi dan efektivitas tanpa menghilangkan
keragaman kondisi sosial budaya setempat.
iv. Adanya
kejelasan pengaturan mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa
Kedelapan, proses
penyelenggaraan pemerintahan Desa harus membuka ruang bagi demokrasi
substantif. Sedangkan dimensi substantif demokrasi bekerja pada ranah
sosial-budaya maupun ranah politik dan kelembagaan. Di ranah sosial-budaya, demokrasi
menganjurkan kebersamaan, toleransi, antikekerasan, pluralisme, inklusivisme,
keseteraan gender, dan lain-lain. Dalam ranah politik dan kelembagaan, demokrasi
substantif yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan adalah akuntabilitas,
transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat.
a) Akuntabilitas
menunjuk pada institusi dan proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga
berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang
digunakan. Pemerintah Desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan
yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah Desa disebut akuntabel
bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan,
tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas Desa untuk kepentingan pribadi,
dan seterusnya.
b) Transparansi
(keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik.
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan
terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya,
transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai
disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima
umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu
mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasi kebijakan Desa, termasuk alokasi anggaran Desa. Sebagai sebuah
media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi
di kalangan pamong Desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh
masyarakat luas.
c) Responsivitas
atau daya tanggap pemerintah Desa. Pemerintah Desa harus mampu dan tanggap
terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai
preferensi utama pengambilan keputusan di Desa. Responsif bukan hanya berarti
pamong Desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat
membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi
terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi
prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan Desa. Pemerintah
Desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau
hanya bersandar pada keinginan kepala Desa sendiri, berarti pemerintah Desa itu
tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik Desa merupakan
kebutuhan menDesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga
miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk
proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah Desa bisa disebut responsif
jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran Desa secara memadai untuk
mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi
produktif rumah tangga.
5. Peraturan Desa
Sebagai konsekuensi
atas penetapan kewenangan yang melekat pada Desa, maka Desa mempunyai
kewenangan (mengatur, mengurus dan bertanggungjawab) untuk menyusun peraturan
Desa. Peraturan Desa disusun oleh Kepala Desa dan BPD sebagai kerangka
kebijakan dan hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Desa.
Penyusunan peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki
Desa, tentu berdasarkan kepada kebutuhan dan kondisi Desa setempat, serta mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum,
peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak
boleh merugikan kepentingan umum. Sebagai sebuah produk politik, peraturan Desa
disusun secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya
melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan
atau memberi masukan kepada BPD maupun Kepala Desa dalam proses penyusunan
peraturan Desa.
Fasilitasi pemerintah
kabupaten terhadap penyusunan peraturan Desa sangat diperlukan untuk
mempermudah dan membangun kapasitas pemerintah Desa untuk menyusun perdes baik.
Pengawasan (supervisi) kabupaten terhadap peraturan Desa sangat diperlukan agar
perdes tetap berjalan sesuai dengan norma-norma hukum, yakni tidak menyimpang
dari peraturan di atasnya dan tidak merugikan kepentingan umum.
Pengawasan bisa
berbentuk preventif (proses konsultasi sebelum raperdes disahkan menjadi
perdes) dan berbentuk represif (membatalkan perdes yang bertentangan). Setelah
peraturan Desa ditetapkan secara formal oleh kepala Desa dan BPD, maka tahap
berikutnya adalah pelaksanaan perdes yang menjadi tanggungjawab kepala Desa. BPD
mempunyai hak melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan
Desa. Masyarakat juga mempunyai hak untuk melakukan monitoring dan evaluasi
secara partisipatif terhadap pelaksanaan perdes.
6. Perencanaan Pembangunan Desa
Perencanaan Desa
merupakan alternatif komplementer atas keterbatasan perencanaan daerah. Oleh
karena itu perencanaan Desa mempunyai posisi yang sangat penting karena (1)
jika Desa mempunyai perencanaan sendiri (yang dibimbing dengan kewenangan Desa)
maka ia akan tumbuh menjadi kesatuan pemerintahan dan masyarakat yang mandiri.
Jika Desa mandiri, maka akan mengurangi beban pemerintah kabupaten dan
sekaligus mempercepat tujuan‐tujuapenanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan rakyat
(2) perencanaan Desa menjadi sebuah instrumen untuk merespon secara cepat,
efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala local (3)
kejelasan tentang perencanaan Desa akan menggairahkan partisipasi dan kehidupan
masyarakat Desa (4) belajar pengalaman implementasi ADD, perencanaan Desa
berlangsung secara dinamis, partisipatif dan menjawab kebutuhan berskala local
(5) sesuai dengan amanat PP No. 72/2005, Desa diharuskan membuat perencanaan
Desa yang didasarkan pada kewenangan Desa.
Perencanaan Desa
bukanlah perencanaan daerah yang berada di Desa, melainkan sebagai sebuah sistem
perencanaan yang berhenti di tingkat Desa atau dikelola sendiri (self planning) oleh Desa serta
berbasis pada masyarakat setempat, dengan tetap mengacu pada perencanaan daerah
yang telah ditetapkan. Perencanaan Desa ini memiliki tujuan (1) memotong mata
rantai prosedur perencanaan bertingkat (bottom up) yang terlalu panjang; (2) membawa
perencanaan betul‐betul dekat pada masyarakat di Desa sehingga agenda pembangunan
Desa menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada kebutuhan masarakat setempat
(3) membuat proses subsidiaritas dalam pembangunan bekerja di level Desa, sehingga bisa memperkuat
tanggungjawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan prakarsa‐potensi lokal, (4)
perencanaan Desa akan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan
kemandirian Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, (5) membuat
kepastian pelayanan publik dan pemerataan pembangunan sampai ke level Desa yang
dekat dengan rakyat, (6) menciptakan produktivitas, efisiensi dan efektivitas
pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan Desa.
Perencanaan Desa
memiliki sejumlah ciri, meliputi:
a. Perencanaan
Desa merupakan sistem perencanaan sendiri (self planning) yang menjangkau urusan‐urusan pembangunan dan pemerintahan yang
menjadi kewenangan dan tanggungjawab Desa.
b. Kewenangan Desa
yang sudah ditetapkan kemudian dicakup dengan perencanaan Desa, membutuhkan
dukungan dana alokasi Desa (ADD) dari pemerintah.
c. Perencanaan
Desa dibuat dalam bentuk rencana strategis sebagai rencana jangka panjang,
rencana pembangunan jangka menengah (RPJMDes), dan rencana pembangunan tahunan
(RKPDes).
d. Perencanaan
Desa merupakan sistem yang terpadu dan dibuat sistem budgeter (budgetary system) di Desa melalui skema APBDes. Artinya, kecuali perencanaan sektoral
kabupaten maupun pelaksanaan tugas‐tugas pembantuan (yang menjadi domain pemerintah
supraDesa), program‐program pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis
Desa sebaiknya diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan Desa dan dana
program‐program itu dimasukkan ke dalam APBDes (budgetary system). Integrasi secara terpadu ini mempunyai
beberapa tujuan. Pertama, menghindari terjadinya “dualisme” perencanaan dan pengelolaan
pembangunan, sebagaimana Desa mengelola perencanaan rutin serta agenda
pembangunan lainnya (PPK, PEMP, P2MD, P3DT, dan lain‐lain) yang berada di luar sistem anggaran
Desa. Dalam praktiknya perencanaan rutin justru sering terbengkelai karena
kurang memiliki kepastian dana, sementara program‐program luar itu memasok dana yang lebih
besar dan lebih pasti. Kedua, Desa akan lebih fokus merencanakan dan melaksanakan
pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
e. Perencanaan
Desa dikelola untuk merespons secara dekat‐langsung berbagai kebutuhan masyarakat Desa
serta diproses secara partisipatif. Forum Musrenbangdes, LPMD, RT, RW, kelompok
tani, kelompok perempuan, karang taruna, kelompok keagamaan dan lain‐lain merupakan arena
yang nyata untuk mewadahi proses perencanaan partisipatif di Desa. Di internal
Desa, partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya pelembagaan yang demokratis
dalam struktur pengambilan kebijakan Desa.
f. Perencanaan
Desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naik ke atas, misalnya untuk memperoleh
persetujuan. Musrenbang di kabupaten tidak lagi digunakan untuk menilai,
menyeleksi atau menyetujui usulan dari Desa. Dalam konteks perencanaan Desa, kabupaten bertugas
melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.
g. Tanggungjawab
perencanaan Desa diletakkan di tingkat Desa. Desa menyampaikan dokumen‐dokumen perencanaan
dan pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan pembinaan,
fasilitasi dan supervisi.
7. Keuangan Desa
Keuangan Desa
memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa,
oleh karena itu dalam Rencana Undang-Undang Desa ini akan diperjelas mengenai
kewenangan pendanaan dalam setiap kegiatan, penggalian sumber pendapatan Desa,
pengelolaan kekayaan Desa, hubungan Desa-supra Desa dalam penggalian sumber
pendapatan Desa, perencanaan dan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa, pembentukan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa. Ada tiga prinsip
dasar keuangan Desa. Pertama, Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi dari
pemerintah karena Desa menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan. Kedua, money follow function: uang digunakan untuk membiayai
fungsi, dimana fungsi ini berdasarkan kewenangan dan perencanaan Desa. Ketiga, no
mandate without funding: tidak ada mandat tanpa uang. Prinsip ini berlaku dalam
tugas pembantuan yang diberikan kepada Desa. Desa mempunyai hak menolak tugas
pembantuan apabila tidak disertai dana, personil, sarana dan prasarana.
Selain keuangan Desa bersumber dari lokal
(PADes), juga bersumber dari pemerintah dan sumbangan pihak ketiga. Ada beberapa model transfer uang yang masuk ke Desa:
1. Investasi dari
pemerintah untuk pengembangan kawasan/pembangunan peDesaan. Anggaran ini
merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah.
2. Alokasi dana
Desa sebagai hak Desa karena menyelenggarakan fungsinya. ADD dialokasikan
langsung dari APBN, yang posisinya sebagai salah komponen tetap dalam dana
perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota. Dengan demikian dana perimbangan
yang diterima oleh kabupaten mencakup DAU, dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus
dan juga Alokasi Dana Desa. Jumlah ADD untuk setiap kabupaten/kota ditentukan
secara tetap namun beragam yang didasarkan pada perbedaan kondisi geografis,
demografis dan kemiskinan.
3. Akselerasi:
dana yang digunakan untuk mempercepat realisasi perencanaan Desa. Dana
akselerasi lebih sebagai affirmative action untuk Desa-Desa yang masih terbelakang.
Dana ini tidak mempunyai perencanaan dan implementasi tersendiri, melainkan
menyatu (integrasi) dengan perencanaan Desa, karena itu harus masuk dalam
APBDes.
4. Insentif: dana
ganjaran (reward) terhadap Desa yang berprestasi dalam menyelenggarakan
fungsinya
Selain itu, semua
bantuan dari pemerintah dan pihak ketiga (program, dana, aset) yang masuk ke
Desa harus melalui rekening/kas Desa dan dicatat dalam APBDesa. Perencanaan
keuangan (APBDes) dilakukan secara partisipatif, dan pengelolaan keuangan Desa
menjadi kewenangan kepala Desa dengan menerapkan prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas,
transparansi dan akuntabilitas. Paralel dengan keuangan Desa itu, tantangan ke
depan dalam penyusunan UU Desa adalah bagaimana memberikan porsi kepada Desa
untuk dapat mengelola sumberdaya alam di wilayah yurisdiksinya. Sumberdaya alam
di Desa berfungsi sebagai sumberdaya ekonomi di Desa. Hal ini sangat dibutuhkan
Desa sebagai basis produksi untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan warga
masyarakat. Pengembangan kawasan dan pembangunan Desa yang memanfaatkan
sumberdaya alam sangat dibutuhkan untuk mendukung kesejahetaraan masyarakat. Namun,
keputusan pengembangan kawasan itu harus melibatkan partisipasi masyarakat
serta memperhatikan aspek keberlanjutan ekologis dan proteksi terhadap
masyarakat. Tujuan-tujuan pengembangan ekonomi kawasan ini dilandasi pemahaman
bahwa partisipasi (akses, voice dan kontrol) merupakan prinsip dasar yang mampu
membuka ruang negosiasi bagi Desa dan tercermin dalam kebijakan pembangunan.
BUMDes merupapakan
alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong perekonomian Desa. Melalui
alternatif usaha ini, diharapkan akan tercipta sumberdaya ekonomi baru untuk
mengatasi keterbatasan sumberdaya alam Desa. Beberapa usulan sebaiknya menjadi
pertimbangan:
a) UU Desa perlu
mengatur sumber-sumber ekonomi seperti industri kecil dan menengah bagi
pemanfaatan Desa, bukan sekadar dikelola kabupaten secara sektoral.
b) BUMDes perlu
diatur di dalam UU Desa (sebagaimana dalam PP No. 72/2005), untuk menjadi pilar
ekonomi Desa, termasuk model tata kelola dan keberlanjutan sebagai sumberdaya
ekonomi
c) UU Desa perlu
menegaskan keharusan kerjasama antar Desa dalam pengembangan ekonomi lokal yang
saling menopang satu sama lainnya, disamping untuk mencegah konflik, dan
difasilitasi oleh kecamatan
d) UU Desa perlu
mengamanatkan kombinasi perda dan perdes mengenai pemberdayaan sektor ekonomi
alternatif seperti industri kecil dan menengah yang dikelola berbasis Desa
UU menjamin bahwa
BUMDes bukan menjadi alat rente bagi penyelenggara pemerintahan Desa, menjadi
alat penting bagi Desa untuk melindungi dan memberdayakan masyarakatnya,
menjadi arena bagi warga Desa untuk bekerjasama membangun ekonomi wilayahnya
dan tidak menjebakkan diri pada berbagai bentuk kerjasama dengan pihak luar
yang justru mengancam ekonomi Desa, khususnya lapisan bawah. Beberapa catatan
untuk bahan perbaikan pasal yang lebih operasional adalah: (a Dalam
mengelanggarakan pemerintahan, Desa memiliki BUMDes yang berfungsi untuk menstimuli,
menfasilitasi dan melindungi dan memberdayakan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.
Dengan kata lain BUMDes dibentuk dengan kepentingan untuk mendukung kegiatan
ekonomi di Desa yang menjadi hajat hidup orang banyak di Desanya; (b) BUMDes
dibentuk melalui proses pengambilan keputusan antar pemerintah Desa, BPD dan
wakil-wakil warga masyarakat; (c) BUMDes merupakan usaha milik Desa yang
dikelola secara otonom oleh warga Desa; (d) Keuntungan usaha BUMDes
sebesarbesarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan dialokasikan
di bidang pelayanan Desa dan mendukung berkembangnya BUMDes; (f) Jenis usaha
yang diselenggarakan peBUMDes adalah yang bebenar tidak mengancam tetapi justru
mendukung usaha ekonomi masyarakat Desa.
8. Kerjasama Desa
Kerjasama antar Desa menjadi
penting ketika pertama, keterbatasan Desa, (1) euforia otonomi Desa seringkali
memunculkan egosentrisme Desa, dimana Desa merasa mempunyai “kedaulatan” atas
teritorial Desanya. Akibatnya, terjadi ketegangan dan konflik antar Desa
berkaitan dengan kepemilikan, ataupun pemanfaatan sumberdaya yang ada, seperti;
air, tanah maupun sumberdaya hutan. Konflik antar Desa tidak jarang ditandai dengan
penggunaan kekerasan (2), munculnya kesenjangan kapasitas antar Desa, sehingga tidak
semua Desa memiliki kemampuan yang sama dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan.
Argumentasi kedua, adalah keterbatasan kabupaten/ kota dalam menyelenggarakan
pelayanan publik dan pembangunan yang bisa menjangkau semua Desa, karena
konstrain geografis dan sebagainya.
Berlatar dua hal
tersebut di atas, maka diperlukan semacam ruang antara dalam menjembatani
keterbatasan Desa maupun keterbatasan kabupaten/ kota. Selama ini, dalam
kerangka regulasi nasional, ruang antara itu dibayangkan berjalan melalui mekanisme
kerjasama antar Desa. Kerjasama antar Desa sekaligus menjadi instrumen untuk
membangun energi kolektif antar Desa dalam menyelesaikan persoalan lokal dan
sekaligus membangun proteksi pada kepentingan Desa dari intervensi pasar di era
globalisasi.
Ada sejumlah poin
kritis berkaitan dengan kerjasama Desa antara lain: (1) basis kerjasama Desa,
(b) format kerjasama, (c) prinsip‐pinsip dasar kerjasama Desa, (d) format kelembagaan
kerjasama, (e) intervensi kabupaten dalam pengaturan tentang kerjasama Desa,
dan (f) model penyelesaian konflik kerjasama Desa. Basis kerjasama Desa
bertujuan untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat,menguatkan partisipasi
masyarakat dan memperbesar ruang negosiasi Desa dalam menentukan pengaturan
kerjasama Desa, serta memperjelas model penyelesaian konflik.
UU Desa yang akan
dibangun harus:
a. Menyebutkan
basis kerjasama Desa adalah untuk kepentingan Desa masing‐masing sesuai dengan kewenangannya.
sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005.
b. Memberikan
peluang untuk membuka akses Desa melalui Forum perencanaan pembangunan dan
membuka kemungkinan bagi munculnya tiga format kerjasama yakni kerjasama antar
Desa; kerjasama Desa dengan pihak ketiga.
c. Kerjasama Desa
merupakan bentuk kerjasama antar Desa dalam lingkup kabupaten yang didasarkan
pada kesamaan kepentingan dalam du hal; (1) mengupayakan kepentingan yang
berdimensi horizontal, yakni efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan publik, pembangunan, pengelolaan sumber daya dan
ekosistem. (2) Dimensi yang vertikal, yakni memperjuangkan kepentingan bersama
antar Desa pada pemerintah kabupaten.
Sedangkan kerjasama
dengan pihak ketiga merupakan bentuk kerjasama Desa atau beberapa Desa dengan
pihak ketiga, seperti private sectors, perorangan maupun voluntary sectors. Ruang kerja sama antara Desa dengan pihak ketiga itu dapat
meliputi bidang yang sudah dirumuskan dalam PP No. 72/2005, yakni: peningkatan
perekonomian masyarakat Desa; peningkatan pelayanan pendidikan; kesehatan;
sosial budaya; ketentraman dan ketertiban; dan/atau pemanfaatan sumber daya
alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
Terakhir, kerjasama Desa dengan pemerintah kabupaten merupakan bentuk kerjasama
antar Desa atau beberapa Desa dengan pemerintah kabupaten dalam urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent. Urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang
penanganannyadalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukn bersama antara
Desa dengan pemerintah kabupaten.
Prinsip-prinsip kerjasama
perlu dipertegas, berikut dengan mekanisme implementasinya. Prinsip-prinsip
tersebut adalah (a) prinsip eksternalitas yaitu kerjasama seharusnya
memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan dalam kerjasama tersebut, (b)
prinsip akuntabilitas yaitu kerjasama itu menjamin berjalankan akuntabilitas,
(c) prinsip efisiensi yaitu kerjasama dilakukan dengan memperhatikan sumberdaya
untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil, (d) Prinsip
keserasian yaitu kerjasama diselenggarakan dengan prinsip saling berhubungan
dan saling mendukung, (e) prinsip kelestarian lingkungan, dan (f) prinsip
kearifan lokal (g). kesekurelaan; (h). keadilan.
Berkaitan dengan
model-model kerjasama Desa, UU Desa dapat mengikuti model Asosiatif seperti
diperkenalkan dalam UU No. 22/1999 atau mengikuti model kerjsama antar Desa
yang diperkenalkan UU No. 32/2004. Alternatif lain adalah menggunakan model
asosiatif yang bersifat vertikal. Atau, menggabungkan model Assosiasi dengan
Badan Kerjasama. Dalam model gabungan ini, ada 2 (dua) elemen penting yang
perlu diperhatikan yaitu: (a) sekretariat yang kuat untuk menjadi dapur dari
ide/gagasan dan kerja‐kerja, dan (b) sistem pengambilan keputusan yang tidak
dominatif melalui model pengambilan keputusan yang konsultatif.
Berkaitan dengan
pilihan konsep partisipasi dalam kerjasama Desa, UU Desa dapat mengadopsi
demokrasi langsung, dimana warga melalui delegasi mereka ikut mengambil
keputusan dalam kerjasama antar Desa atau demokrasi representatif dimana wrga
melalui BPD ikut mengambil keputusan. Setiap kerjasama yang dilakukan oleh
Desa, baik dengan Desa lain, pihak ketiga maupun pemerintah harus mendapatkan
pesetujuan warga secara delegatif, demikian pula ketika kerjasama sudah
dijalankan maka pemerintah Desa wajib melaporkan perkembangan dan hasil
kerjasama itu paa BPD dan warga.
UU Desa memberi
amanat untuk mewajibkan pembentukan Perda tentang kerjasama Desa namun dengan
memperjelas prinsip-prinsip dan kewajiban pemerintah kabupaten. Pemerintah
kabupaten wajib membuat ”payung hukum” yang membuka ruang bagi ketiga bentuk
kerjasama bisa dilakukan. ”Payung hukum” itu bisa berbentuk Peraturan Daerah.
Dalam peraturan daerah itu disebutkan secara jelas kewajiban Pemerintah
Kabupaten untuk memfasilitasi dan memperkuat kapasitasDesa dalam menjalin
jejaring antar Desa maupun dengan pihak ketiga.
UU sebaiknya secara
eksplisit mengatur model penyelesaian konflik Desa melalui mekanisme mediasi
antar Desa. Selain itu perlu mengatur rule of engagement dari pemerintah atasan dalam penyelesaian konflik. Modal
sosial/budaya yang sudah berkembang dalam hubungan antar Desa dapat
dipertemukan dengan rule of engagement pemerintah.
9. Lembaga Kemasyarakatan
Dalam ketentuan ini
akan diatur mengenai tujuan pembentukan Lembaga Kemasyarakatan, tata cara
pembentukan Lembaga Kemasyarakatan, tugas dan fungsi Lembaga Kemasyarakatan,
hubungan lembaga kemasyarakatan dengan lembaga Desa yang lain. Lembaga
kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk masyarakat dengan prinsip-prinsip kesukarelaan,
kemandirian dan keragaman. Karakteristiknya terdiri dari lembaga kemasyarakatan
yang berbasis: kewilayahan, keagamaan, profesi, kebudayaan (termasuk adat
istiadat), kepemudaan, gender, dan interest group/kepentingan.
UU mengakui
keberadaan lembaga kemasyarakatan dan perannya dalam kepemerintahan Desa,
seperti dalam musyawarah Desa, musyawarah perencanaan pembangunan Desa,
mengawasi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Fungsi utama Lembaga
kemasyarakatan adalah dalam penguatan komunitas dan social security/ketahanan
masyarakat dan dapat membantu pemerintah Desa dalam menjalankan fungsi
administrasi kepemerintahan.
10.Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan Desa dalam pengaturan ini akan dititik
beratkan pada peran masing susunan pemerintahan dalam rangka meningkatkan
kinerja penyelenggaraan pemerintahan Desa. Sebagaimana telah ditetapkan dalam
PP No. 72/2005, pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
Desa merupakan kewajiban pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Pembinaan dapat berbentuk penyusunan regulasi, standar,
panduan teknis, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, asistensi teknis
dan lain-lain. Sedangkan pengawasan dilakukan secara preventif dan represif
atas penyelenggaraan pemerintahan Desa, termasuk monitoring dan evaluasi secara
berkelanjutan, baik dari atas maupun secara partisipatif di tingkat Desa.
PENUTUP
Berdasarkan analisa terhadap Draf Rancangan Undang-Undang Tentang Desa di atas dapat
disimpulkan bahwa:
1. Secara filosofis, pembentukan
Undang-Undang Desa akan menempatkan kembali Desa sebagai susunan pemerintahan
yang terdepan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang langsung
berhadapan dengan masyarakat.
2. Secara Yuridis, dengan
pembentukan Undang-Undang Desa ini maka akan semakin memperjelas kedudukan Desa
dalam tata pemerintahan di Indonesia, hal ini dikarenakan akan kembali sesuai
dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Secara Sosiologis, berbagai aspek
yang menjadi permasalahan krusial masyarakat di daerah Perdesaan akan segera
dapat lebih difokuskan untuk ditangani, dengan demikian maka cita-cita luhur
bangsa Indonesia yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 akan
segera dapat diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar