Sabtu, 15 Maret 2014

ANALISIS KRITIS TERHADAP AMANDEMEN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA






ANALISIS KRITIS TERHADAP
AMANDEMEN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA




Tugas Mata Kuliah : Hukum Pemerintah Daerah
Dosen : Dora Kusumastuti, SH, MH


Disusun Oleh:

1.      JERBEAM AMOK WAME            NIM : 10511028


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA
2013


 





ANALISIS KRITIS TERHADAP
AMANDEMEN UNDANG-UNDANG TENTANG KABUPATEN

A. Pemahaman atas Hakekat Kabupaten
Visi reformasi Kabupaten  adalah menuju Kabupaten  yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Karena berbasis visi itu, maka Kabupaten  tidak bisa dipahami hanya sebagai wilayah administratif atau tempat kediaman penduduk semata, melainkan sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum. Paralel dengan visi tersebut, sebaiknya Kabupaten ditransformasikan menjadi sebuah entitas yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Otonomi Kabupaten mengandung tiga makna: (a) Hak Kabupaten untuk mempunyai, mengelola atau memperoleh sumberdaya ekonomi-politik; (b) Kewenangan untuk mengatur atau mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publik dan kepentingan masyarakat setempat; dan (c) Tanggungjawab Kabupaten untuk mengurus kepentingan publik (rakyat) Kabupaten melalui pelayanan publik.
Dengan demikian Kabupaten mempunyai hak dan kewenangan jika berhadapan dengan pemerintah, sekaligus mempunyai tanggungjawab jika berhadapan dengan rakyat. Agar ketiganya berjalan, Kabupaten membutuhkan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, serta kapasitas (kemampuan) untuk menopang tanggungjawab mengurus masyarakat.

B. Azas dan Perspektif Pengaturan Kabupaten
Ketika berbicara tentang otonomi daerah dan Kabupaten , maka kita langsung melihat desentralisasi sebagai azas utama. Azas untuk menopang otonomi daerah tentu sudah final, yakni menggunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (delegasi). Azas desentralisasi terutama diberikan kepada kabupaten/kota mengingat daerah ini menjadi titik berat otonomi, sedangkan azas dekosentrasi terutama diberikan kepada provinsi mengingat gubernur adalah wakil pemerintah pusat yang berada di daerah. Azas tugas pembantuan (delegasi) diberikan oleh pemerintah pusat kepada provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan bahkan kepada Kabupaten. Tetapi perspektif dan azas-azas itu tidak bisa cukup dan sempurna untuk menempatkan posisi dan peran Kabupaten, karena Kabupaten mempunyai otonomi asli dengan basis hak-hak bawaan (asal-usul).
Karena itu naskah akademik ini mengusulkan dua azas utama yang digunakan untuk mendasari otonomi pemerintahan Kabupaten. Pertama, rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal-usul Kabupaten. Pasal 18 UUD 1945, misalnya, menekankan perspektif rekognisi ini, yakni mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa dan sejumlah 250 kesatuan masyarakat hukum yang memiliki beragam nama dan susunan aslinya. UU No. 32/2004 juga memberi pengakuan terhadap kewenangan/hak asal-usul Desa, meski jabarannya tidak terlalu jelas. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga mengakui dan bahkan memulihkan posisi mukim yang semula hanya menjadi lembaga adat menjadi unit pemerintahan yang berada di tengah-tengah kecamatan dan Desa (gampong).
Kedua, azas subsidiaritas, yakni lokalisasi kewenangan di aras Desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat. Dengan subsidiaritas urusan-urusan yang berskala lokal diputuskan secara lokal dengan kewenangan Desa, dan masalah-masalah lokal juga diselesaikan secara lokal.
Subsidiaritas mengandung spirit menghargai, mempercayai dan menantang Desa untuk bergerak. Tanpa subsidiaritas itu inisiatif lokal Desa akan sulit tumbuh, dan Desa kian menjadi beban berat bagi pemerintah. Masyarakat adat di Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman panjang dalam praktik subsidiaritas itu. Contoh yang utama adalah peradilan adat atau penyelesaian sengketa lokal di Aceh. Peradilan adat pertama dilakukan di tingkat gampong dan jika tidak selesai baru dibawa naik ke tingkat mukim. Mekanisme subsidiaritas ini hampir sama dengan mekanisme peradilan modern di Indonesia, yakni dimulai dari pengadilan negeri (di level kabupaten/kota), jika tidak selesai baru dibawa naik ke level pengadilan tinggi (provinsi) dan terakhir berada di level kasasi Mahkamah Agung.
Berdasarkan pemahaman pada gambaran umum di atas, maka prespektif pengaturan Desa ke depan paling tidak harus dapat menjawab pertanyaan mengapa paradigma yang menjadi dasar pengaturan mengenai Desa yaitu memberikan dasar menuju kemandirian, artinya memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri kurang dapat berjalan? Menurut Kuntowijoyo (dalam Suhartono, 2001: 30), ada tiga paradigma yang berkembang dalam melihat Desa. Pertama, paradigma yang melihat masalah pada rakyat itu sendiri. Kedua, paradigma yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat. Ketiga, paradigma yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil.
Berdasarkan paradigma yang pertama, yaitu melihat permasalahan Desa berdasarkan pada masalah rakyat itu sendiri, maka dalam Undang-Undang Desa yang ditekankan adalah bagaimana menjadikan pembangunan perdesaaan itu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat (DOUM). Masyarakat Perdesaan adalah pelaku utama pembangunan di Desa, sedangkan Pemerintah Desa mempunyai tugas utama untuk membimbing, mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif. Berdasarkan paradigma di atas, maka dalam Rencana Undang-Undang tentang Desa, peran masyarakat akan ditingkatkan dalam:
1)   Mekanisme pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi kelurahan;
2)   Penyelenggaraan pemerintahan Desa
3)   Mengidentifikasi dan melaksanakan kewenangan Desa;
4)   Pembuatan Peraturan Desa
5)   Perencanaan Pembangunan Desa
6)   Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa
7)   Kerjasama Desa
8)   Meningkatkan peran Lembaga Kemasyarakatan
9)   Melestarikan Lembaga Adat
Berdasarkan ketentuan di atas, maka sebenarnya peran masyarakat akan ditingkatkan dalam segenap aspek yang berkembang di Desa, seperti penyelenggaraan pemerintahan Desa, demokrasi Desa, ekonomi dan pembangunan Desa, kerjasama antar Desa dan hubungan Desa dengan supra Desa.
Dari paradigma kedua, yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat, maka Rencana Undang-Undang tentang Desa ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam:
a.   penyelenggaraan pemerintahan Desa
b.   pengembangan ekonomi pedesaan
c.   pengembangan demokrasi lokal
d.   pengembangan kerjasama Desa
Selanjutnya dari paradigma ketiga, yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil, maka Rencana Undang-Undang Desa ini:
a.   memungkinkan Desa menerima atau menolak penyerahan urusan pemerintahan di atasnya
b.   menegaskan akan arti pentingnya hak asal-usul, adat istiadat Desa dan sosial budaya masyarakat Desa
c.   menegaskan akan arti pentingnya Kepala Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan ekonomi Desa, mengembangkan pendapatan masyarakat dan Desa dan sebagainya.




C. Ruang Lingkup dan Isi Pengaturan
1.   Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi Kelurahan
a.   Pertama, dalam rangka penataan Desa perlu juga diatur persyaratan-persyaratan dalam rangka pembentukan Desa baru ahsil pemekaran seperti:
1)   usia penyelenggaraan pemerintahan Desa paling sedikit 5 (lima) tahun,
2)   kondisi demografis dan geografis Desa,
3)   kesiapan dan kapasitas pemerintahan Desa
4)   jaringan perhubungan,
5)   kondisi sosial budaya yang menjamin kerukunan warga, potensi Desa yang memungkinkan Desa untuk berkembang,
6)   batas Desa yang sudah diwujudkan dalam bentuk Peta Desa
7)   sarana dan prasarana pelayanan publik
8)   infrastruktur pemerintahan Desa.
Kedua, syarat ini memiliki tujuan agar untuk menata tingkat perkembangan Desa dan Desa pemekaran, benar-benar mampu mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Ketiga, Dalam pembentukan, pengahapusan dan penggabungan serta perubahan status Desa menjadi kelurahan di masa mendatang harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar pengaturan mengenai Desa yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Artinya dalam pembentukan, penghapusan dan penggabungan serta perubahan status Desa menjadi Kelurahan harus memperhatikan inisiatif/prakarsa mayoritas masyarakat dengan memperhatikan kondisi sosial budaya setempat.
Keempat, mekanisme pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa serta perubahan status Desa menjadi kelurahan di dasarkan atas prakarsa masyarakat, pertimbangan Pemerintahan Desa dan supra Desa, hingga sampai pada ditetapkannya Peraturan Daerah. Mekanisme ini sangat penting agar proses pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa atau perubahan status Desa menjadi kelurahan benar-benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kelima, mekanisme, tata cara, pengalihan aset dan status perangkat Desa dalam Pembentukan, penghapusan dan penggabungan serta perubahan status Desa menjadi kelurahan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

2. Kedudukan dan Bentuk Desa
Daerah-daerah di Indonesia memang mempunyai keragaman yang luar biasa baik dilihat dari sisi kultur maupun kondisi geografis dan basis ekonominya. Akan tetapi keragaman itu tidak terlalu mempersulit penentuan posisi dan bentuk daerah, sebab daerah secara keseluruhan sudah ditetapkan sebagai daerah otonom (local self government) secara baku. Perbedaan antardaerah cukup dijawab dengan teori desentralisasi. Jika di masa Orde Baru pemerintah hanya mengenal desentralisasi yang simetris (seragam), maka di masa reformasi pemerintah menerapkan kebijakan desentralisasi asimetris untuk menjawab keragaman.
Sementara Desa-desa di Indonesia sangat beragam antara lain karena pengaruh sejarah pemerintahan adat dan pengaruh modernisasi birokrasi. Namun teori desentralisasi tidak mencukupi untuk menjawab bentuk-bentuk Desa dalam konteks Indonesia. Sesuai dengan pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, setidaknya ada tiga tipe bentuk Desa:
a)   Tipe ”Desa adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep ”otonomi asli” sebenarnya diilhami dari pengertian Desa adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh negara. Saat ini Desa pakraman di Bali yang masih tersisa sebagai bentuk Desa adat yang jelas.
b)   Tipe ”Desa administratif” (local state government) adalah Desa sebagai satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Desa administratif secara substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari tipe Desa administratif.
c)   Tipe ”Desa otonom” atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai local self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, Desa otonom adalah Desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan Desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.
Dalam konteks perjalanan Indonesia mencari posisi dan bentuk Desa, ketiga tipe Desa yang telah diraikan dalam Bab 3, dijadikan rujukan. Pertama, pemikiran para founding fathers yang termuat dalam konstitusi secara jelas mengikuti model Desa adat, yakni mengakui (rekognisi) keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya sangat banyak dan beragam di Indonesia. Kedua, pemikiran tentang Desa otonom atau Desapraja atau daerah otonom tingkat III, yang sering dikemukakan oleh mendiang Prof. Selo Soemardjan, Ibnu Tricahyo (UNBRAW) maupun Khasan Effendy (IPDN). Ibnu Tricahyo, seorang pakar hukum tatanegara dari PP Otoda Universitas Brawijaya Malang. Mereka selalu menyoroti kekeliruan besar UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 yang menempatkan posisi Desa sebagai subsistem pemerintahan kabupaten, sekaligus menerima limpahan kewenangan dan alokasi dana dari kabupaten. Menurut dia, yang melakukan desentralisasi kepada Desa bukanlah pemerintah kabupaten melainkan negara melalui pemerintah pusat. Karena itu, dia selalu menegaskan bahwa kedudukan Desa harus dipertegas lebih dulu dalam struktur ketatanegaraan melalui konstitusi, kemudian diikuti dengan penyerahan kewenangan kepada Desa beserta alokasi dana secara langsung dari APBN.
Ketiga, ide dan pengaturan Desa administratif (kelurahan) yang diterapkan pada masa Orde Baru. Di masa rezim ini, bentuk Desa adat dihilangkan dan ide Desa sebagai daerah otonom tingkat III (Desapraja) juga dihilangkan, meski UU No. 5/1974 mengenal provinsi daerah tingkat I dan kabupaten/kotamadya daerah tingkat II. UU No. 5/1979 memberi kesempatan perubahan status dari Desa-desa yang sudah urbanized di perkotaan menjadi kelurahan, yang membuat roh otonomi dan demokrasi menjadi hilang. Perubahan menjadi kelurahan memang memungkinkan perbaikan pelayanan administratif, tetapi di balik itu sangat memudahkan proses kapitalisasi, sebab status tanah kelurahan tidak lagi menjadi milik rakyat melainkan menjadi milik negara. Ketika investasi akan masuk ke ranah kelurahan, maka negara dan investor tidak lagi bernegosiasi dengan Desa dan rakyat Desa.

3. Kewenangan Desa
Kewenangan (authority) adalah suatu kekuasaan yang sah atau “the power or right delegated or given; the power to judge, act or command” (Ndraha, 2003: 85). Namun dalam perkembangannya, Chester I. Barnard menyarankan bahwa dalam membahas kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu diterima oleh yang menjalankan (“whether orders are accepted by those who receive them”). Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan yang menjalankan dan atau menerima kekuasaan itu. Di dalam kewenangan tentu mengandung keputusan politik (alokasi) dan keputusan administratif (pelaksanaan) yang mencakup mengatur, mengurus dan tanggungjawab.
Meski Desa tetap menjadi bagian dari subsistem pemerintahan kabupaten/kota, tetapi tidak ada teori dan azas yang membenarkan penyerahan kewenangan/urusan dari pemerintah kabupaten/kota kepada Desa. Di sisi lain, konstitusi juga tidak menetapkan desentralisasi kewenangan Desa. Karena itu, kewenangan Desa didasarkan pada azas rekognisi dan subsidiaritas, bukan pada azas desentralisasi.
Kewenangan Desa tidak lagi mengikuti skema penyerahan atau pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota, melainkan dengan skema pengakuan (rekognisi) dan subsidiaritas atas kepentingan masyarakat setempat, secara langsung dari Undang-undang Desa. Berdasarkan skema ini ada dua jenis kewenangan Desa yang utama:
(a) Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara: mengelola aset (sumberdaya alam, tanah ulayat, tanah kas Desa) dalam wilayah yurisdiksi Desa, membentuk struktur pemerintahan Desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan melestarikan adat dan budaya setempat.
(b) Kewenangan melekat (atributif) mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal (Desa): perencanaan pembangunan dan tata ruang Desa, membentuk struktur dan organisasi pemerintahan Desa, menyelenggarakan pemilihan kepala Desa, membentuk Badan Perwakilan Desa, mengelola APBDes, membentuk lembaga kemasyarakatan, mengembangkan BUMDes, dan lain-lain. Selain itu, ada satu jenis kewenangan (urusan) yang bersifat tambahan, yakni kewenangan dalam bidang tugas pembantuan (delegasi) yang diberikan oleh pemerintah. Prinsip dasarnya, dalam tugas pembantuan ini Desa hanya menjalankan tugas-tugas administratif (mengurus) di bidang pemerintahan dan pembangunan yang diberikan pemerintah. Tugas pembantuan disertai dengan dana, personil dan fasilitas. Desa berhak menolak tugas pembantuan jika tidak disertai dengan dana, personil dan fasilitas.

4. Penyelenggara Pemerintahan Desa
Sebagai kosekuensi pilihan Desa yang beragam maka pengaturan tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintahan Desa dibuat beragam juga pilihannya. Namun demikian UU ini perlu merumuskan standar- norma yang bisa dipakai sebagai acuan dlalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Standar dan norma yang harus diikuti adalah sebagai berikut:
Pertama, Agar penyelenggaraan pemerintahan Desa dapat lebih peka dalam memahami aspirasi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sehubungan dengan hal ini ada 7 asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang ditekankan, yaitu:
a) Asas Kepastian Hukum
b) Asas Tertib Kepentingan Umum
c) Asas Keterbukaan
d) Asas Profesionalitas
e) Asas Akuntabilitas
f) Asas Efisiensi
g) Asas Efektivitas
Kedua, Penyelenggaraan pemerintahan Desa dilakukan oleh Badan perwakilan/permusyawaratan Desa, pemerintah Desa dan musyawarah Desa.
Ketiga, Badan perwakilan Desa atau disebut dengan nama lain adalah lembaga perwakilan rakyat Desa yang menjalankan fungsi artikulasi & agregasi kepentingan warga Desa; fungsi legislasi (pengaturan); fungsi budgeting dan fungsi pengawasan. Keanggaotaan Badan Perwakilan Desa dapat dipilih atau berdasarkan musyawarah secara berjenjangecara berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat. BPD mencerminkan perwakilan unsur-unsur atau kelompok-kelompok dalam masyarakat Desa, termasuk kuota 30% untuk kaum perempuan. Kedudukan, mekanisme pemilihan, persyaratan, jumlah, fungsi kontrol wewenang, kewajiban, hak, larangan, mekanisme rapat, penghasilan tetap dan atau tunjangan dari BPD selanjutnya diatur dalam Peraturan Daerah. Agar BPD representatif dan bekerja secara efektif, maka ia diDesain sebagai “pekerjaan” yang full time (bukan sambilan). Jika BPD hanya sebagai “pekerjaan” sambilan, maka ia hanya didominasi oleh kelompok tokoh masyarakat dan PNS, yang berarti tidak mencerminkan keterwakilan banyak kelompok dalam Desa. Disain yang full time itu juga sebagai respons dan persiapan untuk menghadapi banyaknya kewenangan dan perencanaan yang didesentralisasikan ke Desa. Konsekuensinya, BPD juga memperoleh gaji seperti halnya perangkat Desa.
BPD menjalankan fungsi legislatif (penyusunan peraturan Desa), konsultatif (perencanaan pembangunan Desa), menyerap aspirasi masyarakat, dan kontrol terhadap pemerintah Desa. BPD menjadi institusi untuk menjaga akuntabilitas horizontal. Dalam konteks akuntabilitas horizontal itu, pemerintah Desa atau kepala Desa, bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD, dan menyampaikan keterangan pertanggungjawaban kepada Bupati sebagai bahan untuk evaluasi, supervisi dan pembinaan. Di samping itu, penting juga diatur apakah anggota parlemen Desa ini bersifat sukarela (volunteer) atau digaji dengan imbalan layaknya perangkat Desa.
Keempat, Pemerintah Desa dipimpin oleh Kepala Desa atau disebut dengan nama lain. Proses pengisian kepala Desa dapat dilakukan secara pemilihan langsung atau musyawarah warga secara berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat. Kepala Desa yang dipilih secara langsung memiliki masa jabatan selama 6 tahun dan dapat dipilih kembali. Kepala Desa hanya bisa menjabat 2 kali masa jabatan. UU ini mengatur secara jelas hak dan kewajiban kepala Desa; Adanya kejelasan pengaturan mengenai mekanisme Pemilihan kepala Desa; tugas, wewenang, dan kewajiban Kepala Desa; persyaratan menjadi Kepala Desa; larangan bagi Kepala Desa; pemberhentian Kepala Desa; masa jabatan Kepala Desa 6 tahun
Kelima, Hubungan kepala Desa dengan BPD didasarkan prinsip check balances. Kepala Desa atau disebut dengan nama lain menyampaikan akuntabilitasnya dalam bentuk laporan penyelenggaraan pemerintahan pada Bupati; laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan pada BPD dan warga dalam forum musyawarah Desa, serta menginformasikan secara terbuka pada masyarakat.
Keenam Musyawarah Desa merupakan perwujudan demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), yakni model pengambilan keputusan dengan menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat secara kolektif, seperti halnya bentuk rembug Desa atau musyawarah adat;Musyawarah Desa merupakan forum tertinggi dalam mengambil keputusan atas masalah-masalah strategis di Desa. Masalah-masalah strategis antara lain: Penetapan rencana strategis Desa, Musyawarah perencanaan pembangunan dan masalah yang berkaitan dengan kerjasama dengan pihak ketiga. Musyawarah Desa diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Keputusan Musyawarah Desa bersifat mengikat untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan perwakilan Desa. Musyawarah Desa dapat diikuti secara langsung oleh seluruh warga atau dilakukan dengan model delegasi yang dipilih secara berjenjang.
Ketujuh, Kepala Desa dibantu oleh unsur pemerintah Desa yang meliputi sekretaris Desa dan perangkat Desa. Struktur organisasi pemerintah Desa ditetapkan melalui Peraturan Desa dengan memperhatikan model dan kewenangan Desa. UU ini mengatur mengenai perangkat Desa (Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya), baik dalam sistem rekrutmen, pemberian tunjangan, penghargaan. Rekruitmen Sekretaris Desa dan perangkat Desa didasarkan prinsip-prinsip profesionalitas, transparan dan akuntabel. ika demokrasi dibutuhkan sebagai kerangka politik penyelenggaraan pemerintahan Desa, teknokrasi dibutuhkan sebagai kerangka administratif bagi Desa, terutama berkaitan dengan keperangkatan Desa. Namun kerangka teknokrasi itu juga memperhatikan konteks lokal seperti susunan asli. Ada beberapa pokok pikiran penting dalam konteks ini.
i.    Organisasi dan struktur keperangkatan Desa didasarkan pada tiga fungsi utama Desa: fungsi-fungsi Desa semestinya dijabarkan ke dalam: (a) Fungsi pemerintahan Desa yang mencakup menjalankan kebijakan publik; menyelenggarakan pelayanan publik; mengelola sumberdaya alam; dan mengelola keuangan Desa; (b) Fungsi pembangunan adalah fungsi mobilisasi dan distribusi sumberdaya lokal guna mencapai kesejahteraan rakyat: menyiapkan dan menjalankan perencanaan berbagai sektor; mengembangkan ekonomi lokal; pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan dasar; mengelola tata ruang dan kawasan; serta (c) Fungsi kemasyarakatan adalah kegiatan sosial yang berbasis pada modal sosial untuk memperkuat ketahanan sosial.
ii.   Lebih spesifik lagi, fungsi pemerintahan Desa tersebut mencakup: regulasi/kebijakan, pelayanan dan pemberdayaan. Fungsi regulasi/kebijakan dijalankan oleh institusi kepala Desa, BPD dan musyawarah Desa dengan pendekatan teknokratis. Fungsi pelayanan dijalankan oleh institusi perangkat Desa dengan pendekatan teknokratis. Fungsi pemberdayaan dijalankan oleh lembaga-lembaga atau organisasi masyarakat Desa dengan pendekatan partisipatif dan keswadayaan.
iii. Struktur organisasi pemerintahan Desa mengutamakan efisiensi dan efektivitas tanpa menghilangkan keragaman kondisi sosial budaya setempat.
iv. Adanya kejelasan pengaturan mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa
Kedelapan, proses penyelenggaraan pemerintahan Desa harus membuka ruang bagi demokrasi substantif. Sedangkan dimensi substantif demokrasi bekerja pada ranah sosial-budaya maupun ranah politik dan kelembagaan. Di ranah sosial-budaya, demokrasi menganjurkan kebersamaan, toleransi, antikekerasan, pluralisme, inklusivisme, keseteraan gender, dan lain-lain. Dalam ranah politik dan kelembagaan, demokrasi substantif yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan adalah akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat.
a)   Akuntabilitas menunjuk pada institusi dan proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah Desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah Desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas Desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya.
b)   Transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan Desa, termasuk alokasi anggaran Desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong Desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
c)   Responsivitas atau daya tanggap pemerintah Desa. Pemerintah Desa harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di Desa. Responsif bukan hanya berarti pamong Desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan Desa. Pemerintah Desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala Desa sendiri, berarti pemerintah Desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik Desa merupakan kebutuhan menDesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah Desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran Desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.

5. Peraturan Desa
Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang melekat pada Desa, maka Desa mempunyai kewenangan (mengatur, mengurus dan bertanggungjawab) untuk menyusun peraturan Desa. Peraturan Desa disusun oleh Kepala Desa dan BPD sebagai kerangka kebijakan dan hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Desa. Penyusunan peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa, tentu berdasarkan kepada kebutuhan dan kondisi Desa setempat, serta mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum. Sebagai sebuah produk politik, peraturan Desa disusun secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberi masukan kepada BPD maupun Kepala Desa dalam proses penyusunan peraturan Desa.
Fasilitasi pemerintah kabupaten terhadap penyusunan peraturan Desa sangat diperlukan untuk mempermudah dan membangun kapasitas pemerintah Desa untuk menyusun perdes baik. Pengawasan (supervisi) kabupaten terhadap peraturan Desa sangat diperlukan agar perdes tetap berjalan sesuai dengan norma-norma hukum, yakni tidak menyimpang dari peraturan di atasnya dan tidak merugikan kepentingan umum.
Pengawasan bisa berbentuk preventif (proses konsultasi sebelum raperdes disahkan menjadi perdes) dan berbentuk represif (membatalkan perdes yang bertentangan). Setelah peraturan Desa ditetapkan secara formal oleh kepala Desa dan BPD, maka tahap berikutnya adalah pelaksanaan perdes yang menjadi tanggungjawab kepala Desa. BPD mempunyai hak melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan Desa. Masyarakat juga mempunyai hak untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan perdes.

6. Perencanaan Pembangunan Desa
Perencanaan Desa merupakan alternatif komplementer atas keterbatasan perencanaan daerah. Oleh karena itu perencanaan Desa mempunyai posisi yang sangat penting karena (1) jika Desa mempunyai perencanaan sendiri (yang dibimbing dengan kewenangan Desa) maka ia akan tumbuh menjadi kesatuan pemerintahan dan masyarakat yang mandiri. Jika Desa mandiri, maka akan mengurangi beban pemerintah kabupaten dan sekaligus mempercepat tujuantujuapenanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan rakyat (2) perencanaan Desa menjadi sebuah instrumen untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala local (3) kejelasan tentang perencanaan Desa akan menggairahkan partisipasi dan kehidupan masyarakat Desa (4) belajar pengalaman implementasi ADD, perencanaan Desa berlangsung secara dinamis, partisipatif dan menjawab kebutuhan berskala local (5) sesuai dengan amanat PP No. 72/2005, Desa diharuskan membuat perencanaan Desa yang didasarkan pada kewenangan Desa.
Perencanaan Desa bukanlah perencanaan daerah yang berada di Desa, melainkan sebagai sebuah sistem perencanaan yang berhenti di tingkat Desa atau dikelola sendiri (self planning) oleh Desa serta berbasis pada masyarakat setempat, dengan tetap mengacu pada perencanaan daerah yang telah ditetapkan. Perencanaan Desa ini memiliki tujuan (1) memotong mata rantai prosedur perencanaan bertingkat (bottom up) yang terlalu panjang; (2) membawa perencanaan betulbetul dekat pada masyarakat di Desa sehingga agenda pembangunan Desa menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada kebutuhan masarakat setempat (3) membuat proses subsidiaritas dalam pembangunan bekerja di level Desa, sehingga bisa memperkuat tanggungjawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan prakarsapotensi lokal, (4) perencanaan Desa akan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan kemandirian Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, (5) membuat kepastian pelayanan publik dan pemerataan pembangunan sampai ke level Desa yang dekat dengan rakyat, (6) menciptakan produktivitas, efisiensi dan efektivitas pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan Desa.
Perencanaan Desa memiliki sejumlah ciri, meliputi:
a.   Perencanaan Desa merupakan sistem perencanaan sendiri (self planning) yang menjangkau urusanurusan pembangunan dan pemerintahan yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab Desa.
b.   Kewenangan Desa yang sudah ditetapkan kemudian dicakup dengan perencanaan Desa, membutuhkan dukungan dana alokasi Desa (ADD) dari pemerintah.
c.   Perencanaan Desa dibuat dalam bentuk rencana strategis sebagai rencana jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah (RPJMDes), dan rencana pembangunan tahunan (RKPDes).
d.   Perencanaan Desa merupakan sistem yang terpadu dan dibuat sistem budgeter (budgetary system) di Desa melalui skema APBDes. Artinya, kecuali perencanaan sektoral kabupaten maupun pelaksanaan tugastugas pembantuan (yang menjadi domain pemerintah supraDesa), programprogram pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis Desa sebaiknya diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan Desa dan dana programprogram itu dimasukkan ke dalam APBDes (budgetary system). Integrasi secara terpadu ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, menghindari terjadinya “dualisme” perencanaan dan pengelolaan pembangunan, sebagaimana Desa mengelola perencanaan rutin serta agenda pembangunan lainnya (PPK, PEMP, P2MD, P3DT, dan lainlain) yang berada di luar sistem anggaran Desa. Dalam praktiknya perencanaan rutin justru sering terbengkelai karena kurang memiliki kepastian dana, sementara programprogram luar itu memasok dana yang lebih besar dan lebih pasti. Kedua, Desa akan lebih fokus merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
e.   Perencanaan Desa dikelola untuk merespons secara dekatlangsung berbagai kebutuhan masyarakat Desa serta diproses secara partisipatif. Forum Musrenbangdes, LPMD, RT, RW, kelompok tani, kelompok perempuan, karang taruna, kelompok keagamaan dan lainlain merupakan arena yang nyata untuk mewadahi proses perencanaan partisipatif di Desa. Di internal Desa, partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya pelembagaan yang demokratis dalam struktur pengambilan kebijakan Desa.
f.    Perencanaan Desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naik ke atas, misalnya untuk memperoleh persetujuan. Musrenbang di kabupaten tidak lagi digunakan untuk menilai, menyeleksi atau menyetujui usulan dari Desa. Dalam konteks  perencanaan Desa, kabupaten bertugas melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.
g.   Tanggungjawab perencanaan Desa diletakkan di tingkat Desa. Desa menyampaikan dokumendokumen perencanaan dan pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.

7. Keuangan Desa
Keuangan Desa memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, oleh karena itu dalam Rencana Undang-Undang Desa ini akan diperjelas mengenai kewenangan pendanaan dalam setiap kegiatan, penggalian sumber pendapatan Desa, pengelolaan kekayaan Desa, hubungan Desa-supra Desa dalam penggalian sumber pendapatan Desa, perencanaan dan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pembentukan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa. Ada tiga prinsip dasar keuangan Desa. Pertama, Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi dari pemerintah karena Desa menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kedua, money follow function: uang digunakan untuk membiayai fungsi, dimana fungsi ini berdasarkan kewenangan dan perencanaan Desa. Ketiga, no mandate without funding: tidak ada mandat tanpa uang. Prinsip ini berlaku dalam tugas pembantuan yang diberikan kepada Desa. Desa mempunyai hak menolak tugas pembantuan apabila tidak disertai dana, personil, sarana dan prasarana.
Selain keuangan Desa bersumber dari lokal (PADes), juga bersumber dari pemerintah dan sumbangan pihak ketiga. Ada beberapa model transfer uang yang masuk ke Desa:
1.   Investasi dari pemerintah untuk pengembangan kawasan/pembangunan peDesaan. Anggaran ini merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah.
2.   Alokasi dana Desa sebagai hak Desa karena menyelenggarakan fungsinya. ADD dialokasikan langsung dari APBN, yang posisinya sebagai salah komponen tetap dalam dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota. Dengan demikian dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten mencakup DAU, dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus dan juga Alokasi Dana Desa. Jumlah ADD untuk setiap kabupaten/kota ditentukan secara tetap namun beragam yang didasarkan pada perbedaan kondisi geografis, demografis dan kemiskinan.
3.   Akselerasi: dana yang digunakan untuk mempercepat realisasi perencanaan Desa. Dana akselerasi lebih sebagai affirmative action untuk Desa-Desa yang masih terbelakang. Dana ini tidak mempunyai perencanaan dan implementasi tersendiri, melainkan menyatu (integrasi) dengan perencanaan Desa, karena itu harus masuk dalam APBDes.
4.   Insentif: dana ganjaran (reward) terhadap Desa yang berprestasi dalam menyelenggarakan fungsinya
Selain itu, semua bantuan dari pemerintah dan pihak ketiga (program, dana, aset) yang masuk ke Desa harus melalui rekening/kas Desa dan dicatat dalam APBDesa. Perencanaan keuangan (APBDes) dilakukan secara partisipatif, dan pengelolaan keuangan Desa menjadi kewenangan kepala Desa dengan menerapkan prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas. Paralel dengan keuangan Desa itu, tantangan ke depan dalam penyusunan UU Desa adalah bagaimana memberikan porsi kepada Desa untuk dapat mengelola sumberdaya alam di wilayah yurisdiksinya. Sumberdaya alam di Desa berfungsi sebagai sumberdaya ekonomi di Desa. Hal ini sangat dibutuhkan Desa sebagai basis produksi untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan warga masyarakat. Pengembangan kawasan dan pembangunan Desa yang memanfaatkan sumberdaya alam sangat dibutuhkan untuk mendukung kesejahetaraan masyarakat. Namun, keputusan pengembangan kawasan itu harus melibatkan partisipasi masyarakat serta memperhatikan aspek keberlanjutan ekologis dan proteksi terhadap masyarakat. Tujuan-tujuan pengembangan ekonomi kawasan ini dilandasi pemahaman bahwa partisipasi (akses, voice dan kontrol) merupakan prinsip dasar yang mampu membuka ruang negosiasi bagi Desa dan tercermin dalam kebijakan pembangunan.
BUMDes merupapakan alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong perekonomian Desa. Melalui alternatif usaha ini, diharapkan akan tercipta sumberdaya ekonomi baru untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya alam Desa. Beberapa usulan sebaiknya menjadi pertimbangan:
a)   UU Desa perlu mengatur sumber-sumber ekonomi seperti industri kecil dan menengah bagi pemanfaatan Desa, bukan sekadar dikelola kabupaten secara sektoral.
b)   BUMDes perlu diatur di dalam UU Desa (sebagaimana dalam PP No. 72/2005), untuk menjadi pilar ekonomi Desa, termasuk model tata kelola dan keberlanjutan sebagai sumberdaya ekonomi
c)   UU Desa perlu menegaskan keharusan kerjasama antar Desa dalam pengembangan ekonomi lokal yang saling menopang satu sama lainnya, disamping untuk mencegah konflik, dan difasilitasi oleh kecamatan
d)   UU Desa perlu mengamanatkan kombinasi perda dan perdes mengenai pemberdayaan sektor ekonomi alternatif seperti industri kecil dan menengah yang dikelola berbasis Desa
UU menjamin bahwa BUMDes bukan menjadi alat rente bagi penyelenggara pemerintahan Desa, menjadi alat penting bagi Desa untuk melindungi dan memberdayakan masyarakatnya, menjadi arena bagi warga Desa untuk bekerjasama membangun ekonomi wilayahnya dan tidak menjebakkan diri pada berbagai bentuk kerjasama dengan pihak luar yang justru mengancam ekonomi Desa, khususnya lapisan bawah. Beberapa catatan untuk bahan perbaikan pasal yang lebih operasional adalah: (a Dalam mengelanggarakan pemerintahan, Desa memiliki BUMDes yang berfungsi untuk menstimuli, menfasilitasi dan melindungi dan memberdayakan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Dengan kata lain BUMDes dibentuk dengan kepentingan untuk mendukung kegiatan ekonomi di Desa yang menjadi hajat hidup orang banyak di Desanya; (b) BUMDes dibentuk melalui proses pengambilan keputusan antar pemerintah Desa, BPD dan wakil-wakil warga masyarakat; (c) BUMDes merupakan usaha milik Desa yang dikelola secara otonom oleh warga Desa; (d) Keuntungan usaha BUMDes sebesarbesarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan dialokasikan di bidang pelayanan Desa dan mendukung berkembangnya BUMDes; (f) Jenis usaha yang diselenggarakan peBUMDes adalah yang bebenar tidak mengancam tetapi justru mendukung usaha ekonomi masyarakat Desa.

8. Kerjasama Desa
Kerjasama antar Desa menjadi penting ketika pertama, keterbatasan Desa, (1) euforia otonomi Desa seringkali memunculkan egosentrisme Desa, dimana Desa merasa mempunyai “kedaulatan” atas teritorial Desanya. Akibatnya, terjadi ketegangan dan konflik antar Desa berkaitan dengan kepemilikan, ataupun pemanfaatan sumberdaya yang ada, seperti; air, tanah maupun sumberdaya hutan. Konflik antar Desa tidak jarang ditandai dengan penggunaan kekerasan (2), munculnya kesenjangan kapasitas antar Desa, sehingga tidak semua Desa memiliki kemampuan yang sama dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Argumentasi kedua, adalah keterbatasan kabupaten/ kota dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan yang bisa menjangkau semua Desa, karena konstrain geografis dan sebagainya.
Berlatar dua hal tersebut di atas, maka diperlukan semacam ruang antara dalam menjembatani keterbatasan Desa maupun keterbatasan kabupaten/ kota. Selama ini, dalam kerangka regulasi nasional, ruang antara itu dibayangkan berjalan melalui mekanisme kerjasama antar Desa. Kerjasama antar Desa sekaligus menjadi instrumen untuk membangun energi kolektif antar Desa dalam menyelesaikan persoalan lokal dan sekaligus membangun proteksi pada kepentingan Desa dari intervensi pasar di era globalisasi.
Ada sejumlah poin kritis berkaitan dengan kerjasama Desa antara lain: (1) basis kerjasama Desa, (b) format kerjasama, (c) prinsippinsip dasar kerjasama Desa, (d) format kelembagaan kerjasama, (e) intervensi kabupaten dalam pengaturan tentang kerjasama Desa, dan (f) model penyelesaian konflik kerjasama Desa. Basis kerjasama Desa bertujuan untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat,menguatkan partisipasi masyarakat dan memperbesar ruang negosiasi Desa dalam menentukan pengaturan kerjasama Desa, serta memperjelas model penyelesaian konflik.
UU Desa yang akan dibangun harus:
a.   Menyebutkan basis kerjasama Desa adalah untuk kepentingan Desa masingmasing sesuai dengan kewenangannya. sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005.
b.   Memberikan peluang untuk membuka akses Desa melalui Forum perencanaan pembangunan dan membuka kemungkinan bagi munculnya tiga format kerjasama yakni kerjasama antar Desa; kerjasama Desa dengan pihak ketiga.
c.   Kerjasama Desa merupakan bentuk kerjasama antar Desa dalam lingkup kabupaten yang didasarkan pada kesamaan kepentingan dalam du hal; (1) mengupayakan kepentingan yang berdimensi horizontal, yakni efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, pembangunan, pengelolaan sumber daya dan ekosistem. (2) Dimensi yang vertikal, yakni memperjuangkan kepentingan bersama antar Desa pada pemerintah kabupaten.
Sedangkan kerjasama dengan pihak ketiga merupakan bentuk kerjasama Desa atau beberapa Desa dengan pihak ketiga, seperti private sectors, perorangan maupun voluntary sectors. Ruang kerja sama antara Desa dengan pihak ketiga itu dapat meliputi bidang yang sudah dirumuskan dalam PP No. 72/2005, yakni: peningkatan perekonomian masyarakat Desa; peningkatan pelayanan pendidikan; kesehatan; sosial budaya; ketentraman dan ketertiban; dan/atau pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Terakhir, kerjasama Desa dengan pemerintah kabupaten merupakan bentuk kerjasama antar Desa atau beberapa Desa dengan pemerintah kabupaten dalam urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannyadalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukn bersama antara Desa dengan pemerintah kabupaten.
Prinsip-prinsip kerjasama perlu dipertegas, berikut dengan mekanisme implementasinya. Prinsip-prinsip tersebut adalah (a) prinsip eksternalitas yaitu kerjasama seharusnya memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan dalam kerjasama tersebut, (b) prinsip akuntabilitas yaitu kerjasama itu menjamin berjalankan akuntabilitas, (c) prinsip efisiensi yaitu kerjasama dilakukan dengan memperhatikan sumberdaya untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil, (d) Prinsip keserasian yaitu kerjasama diselenggarakan dengan prinsip saling berhubungan dan saling mendukung, (e) prinsip kelestarian lingkungan, dan (f) prinsip kearifan lokal (g). kesekurelaan; (h). keadilan.
Berkaitan dengan model-model kerjasama Desa, UU Desa dapat mengikuti model Asosiatif seperti diperkenalkan dalam UU No. 22/1999 atau mengikuti model kerjsama antar Desa yang diperkenalkan UU No. 32/2004. Alternatif lain adalah menggunakan model asosiatif yang bersifat vertikal. Atau, menggabungkan model Assosiasi dengan Badan Kerjasama. Dalam model gabungan ini, ada 2 (dua) elemen penting yang perlu diperhatikan yaitu: (a) sekretariat yang kuat untuk menjadi dapur dari ide/gagasan dan kerjakerja, dan (b) sistem pengambilan keputusan yang tidak dominatif melalui model pengambilan keputusan yang konsultatif.
Berkaitan dengan pilihan konsep partisipasi dalam kerjasama Desa, UU Desa dapat mengadopsi demokrasi langsung, dimana warga melalui delegasi mereka ikut mengambil keputusan dalam kerjasama antar Desa atau demokrasi representatif dimana wrga melalui BPD ikut mengambil keputusan. Setiap kerjasama yang dilakukan oleh Desa, baik dengan Desa lain, pihak ketiga maupun pemerintah harus mendapatkan pesetujuan warga secara delegatif, demikian pula ketika kerjasama sudah dijalankan maka pemerintah Desa wajib melaporkan perkembangan dan hasil kerjasama itu paa BPD dan warga.
UU Desa memberi amanat untuk mewajibkan pembentukan Perda tentang kerjasama Desa namun dengan memperjelas prinsip-prinsip dan kewajiban pemerintah kabupaten. Pemerintah kabupaten wajib membuat ”payung hukum” yang membuka ruang bagi ketiga bentuk kerjasama bisa dilakukan. ”Payung hukum” itu bisa berbentuk Peraturan Daerah. Dalam peraturan daerah itu disebutkan secara jelas kewajiban Pemerintah Kabupaten untuk memfasilitasi dan memperkuat kapasitasDesa dalam menjalin jejaring antar Desa maupun dengan pihak ketiga.
UU sebaiknya secara eksplisit mengatur model penyelesaian konflik Desa melalui mekanisme mediasi antar Desa. Selain itu perlu mengatur rule of engagement dari pemerintah atasan dalam penyelesaian konflik. Modal sosial/budaya yang sudah berkembang dalam hubungan antar Desa dapat dipertemukan dengan rule of engagement pemerintah.

9. Lembaga Kemasyarakatan
Dalam ketentuan ini akan diatur mengenai tujuan pembentukan Lembaga Kemasyarakatan, tata cara pembentukan Lembaga Kemasyarakatan, tugas dan fungsi Lembaga Kemasyarakatan, hubungan lembaga kemasyarakatan dengan lembaga Desa yang lain. Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk masyarakat dengan prinsip-prinsip kesukarelaan, kemandirian dan keragaman. Karakteristiknya terdiri dari lembaga kemasyarakatan yang berbasis: kewilayahan, keagamaan, profesi, kebudayaan (termasuk adat istiadat), kepemudaan, gender, dan interest group/kepentingan.
UU mengakui keberadaan lembaga kemasyarakatan dan perannya dalam kepemerintahan Desa, seperti dalam musyawarah Desa, musyawarah perencanaan pembangunan Desa, mengawasi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Fungsi utama Lembaga kemasyarakatan adalah dalam penguatan komunitas dan social security/ketahanan masyarakat dan dapat membantu pemerintah Desa dalam menjalankan fungsi administrasi kepemerintahan.

10.Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan Desa dalam pengaturan ini akan dititik beratkan pada peran masing susunan pemerintahan dalam rangka meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan Desa. Sebagaimana telah ditetapkan dalam PP No. 72/2005, pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa merupakan kewajiban pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Pembinaan dapat berbentuk penyusunan regulasi, standar, panduan teknis, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, asistensi teknis dan lain-lain. Sedangkan pengawasan dilakukan secara preventif dan represif atas penyelenggaraan pemerintahan Desa, termasuk monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan, baik dari atas maupun secara partisipatif di tingkat Desa.








PENUTUP
Berdasarkan analisa terhadap Draf Rancangan Undang-Undang Tentang Desa di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.   Secara filosofis, pembentukan Undang-Undang Desa akan menempatkan kembali Desa sebagai susunan pemerintahan yang terdepan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
2.   Secara Yuridis, dengan pembentukan Undang-Undang Desa ini maka akan semakin memperjelas kedudukan Desa dalam tata pemerintahan di Indonesia, hal ini dikarenakan akan kembali sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
3.   Secara Sosiologis, berbagai aspek yang menjadi permasalahan krusial masyarakat di daerah Perdesaan akan segera dapat lebih difokuskan untuk ditangani, dengan demikian maka cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 akan segera dapat diwujudkan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar